Kamis, 25 April 2013

SHE HATES SATURDAY NIGHTS



Lisa tengah membolak-balik album fotonya yang nyaris berbulan-bulan nggak pernah lagi disentuhnya. Di setiap halaman, lisa mengamati batul wajah almarhum mama, meskipun lisa tahu, sampai kapan pun dia nggak mungkin bisa melupakan wajah mamanya.

Ingatan Lisa kembali ke beberapa tahun yang lalu, ketika menghabiskan saat-saat terakhir bersama mamanya di rumah sakit, sampai keesokan paginya Lisa menemukan mamanya telah tiada di sisinya. 

Ingatan barusan membuatnya sedih, tapi begitu lisa mengamati lagi wajah mamanya di foto yang sedang ketawa geli gara-gara dicium ikan lele peliharaan eyangnya, kesedihan lisa berangsur-angsur hilang. Senyuman kini terkembang menghiasi wajahnya yang cantik. 

Tanpa sadar lisa sudah menghabiskan berjam-jam hanya untuk melihat album fotonya sejak pulang sekolah. 

“Waduh, udah jam setengah enam lewat, mesti buru-buru berangkat les nih!”
Lisa merapikan album fotonya dan bangkit untuk bersiap-siap ke tempat les bahasa inggris. Dengan cueknya lisa mengganti kemeja sekolah dengan kaos, sementara dia masih mengenakan rok sekolah abu-abunya. Lisa langsung menyambar tas selempang kesayangannya dan berangkat.

“Papa, nanti jemput lisa?” tanya lisa kepada papanya yang barusan pulang dari kantor. 

“Iyalah, seperti biasa. Kamu nggak Papa anta raja?” Tanya Papa.

“Nggak ah, Pa. Naik angkot aja sama Bi Sumi, “Jawab Lisa asal.

“Papa antar, ya?”

“Nggak usah, Pa.”

“Papa anta raja.”

“Papa, ma kasih, tapi  nggak usah. Papa kan baru pulang kantor, masih capek. Nanti Papa jemput Lisa aja.”

“Nggak apa-apa. Papa anterin, ya?”

“Nggak, Pa.”

“Iya.”

“Nggak.”

“Iya.”

“Papa apa sih?!”

“Ya udah.”

Ini bukan yang pertama kalinya Papa memaksa mengantar Lisa ke tempat les, padahal  tempat lesnya nggak begitu jauh dari rumahnya. Tapi Papa Lisa adalah tipe orang yang gampang cemas dan khawatiran, apalagi sejak mama Lisa meninggal.

Sejak mama Lisa meninggal, Lisa nggak pernah diizinkan lagi untuk jalan sama temen-temennya tiap malam minggu bahkan nonton bioskop sekalipun. Itu karena nggak ada lagi orang yang bisa membujuk Papa sejitu almarhum mama Lisa.

Alasan Papa selalu saja ada. Yang bilang nonton bioskop itu pemborosanlah! Harga tiketnya aja udah mahal, belum lagi beli cemilannya. Masuk akal sih. Tapi Lisa berpikir, apa salahnya sih sekali-sekali?! Toh sekali aja nonton bioskop juga nggak akan bikin Papa bangkrut! Pokoknya, setiap malam Minggu bawaan Lisa selalu saja bete! Papa sendiri juga jarang ngajakin Lisa pergi liburan atau malam mingguan!

Tragis banget, padahal rumahnya deket mall, meskipun bukan mall sekelas Pondok Indah Mall atau Plaza Senayan sih. Tapi lumayan, ada twenty-one-nya dan McD-nya juga.

“Pulang sekolah harus langsung pulang, nggak boleh mampir-mampir dulu.” Itu salah satu peraturan papa yang rutin diucapkan beliau tiap Lisa mau sekolah.

Tapi emang dasarnya Lisa badung, sekali-sekali dilanggarnya aturan papa yang satu itu, meskipun nggak keseringan, karena papa orangnya suka nggak bisa diduga. Kadang-kadang Papa telepon ke rumah untuk ngecek anaknya sudah pulang atau belum. Untungnya setiap papa telepon, Lisa selalu ada di rumah.

Untuk urusan yang ada hubungannya dengan bidang akademis, seperti belajar kelompok atau bikin tugas makalah kelompok, juga sama. Meskipun Papa mengizinkan, beliau tetap saja memberi batasan soal kapan Lisa harus pulang dan berapa lama ia boleh ada di rumah temannya. 

Masih untung Papa memperbolehkan Lisa ikut ekskul basket, itu juga karena di sekolah Lisa, mengikuti sedikitnya satu kegiatan ekskul adalah wajib. Seenggaknya Lisa punya sedikit hiburan dan semangat. Kalau sekolah nggak mengeluarkan kebijakan tersebut, sudah bisa dipastikan Lisa nggak bisa ikut kegiatan apa pun selain sekolah dan les bahasa inggris. Bakalan lebih suntuk dia!

Kenapa Papa memperbolehkan Lisa les bahasa Inggris? Itu karena Papa menganggap bahwa Inggris wajib dipelajari, karena sekarang zaman sudah berubah, di mana setiap perusahaan umumnya hanya menerima karyawan yang mampu berbahasa Inggris dengan nilai TOEFL di atas 500. Dan menurut Papa, pelajaran bahasa Inggris yang diberikan sekolah belum cukup. Tadinya Papa memanggilkan Lisa guru les privat ke rumah, supaya Papa mudah mengawasi Lisa. Tapi setelah beberapa bulan berjalan, ternyata belajar dengan guru privat nggak efektif buat Lisa. Akhirnya Papa mau nggak mau mengursuskan Lisa di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris yang dianggapnya baik. Lisa sih senang-senang aja, soalnya dia bisa punya teman-teman baru di lingkungan baru. Selain itu, tempat les bahasa Inggris-nya ada di depan mall persis! Jadi dia bisa nyuri-nyuri waktu sebelum masuk les buat beli kaset, satu-satunya jenis barang yang selama ini jadi koleksi favoritnya. 

Papa nyesel banget ketika tahu bahwa waktu belajar Lisa di tempat lesnya Cuma ada malam hari, karena untuk level setingkat Lisa nggak ada jam yang lebih sore atau siang. Makanya Papa selalu bersikeras menjemput Lisa seusai les, padahal jaraknya dekat. Dan papa juga bersikeras supaya Bi Sumi senantiasa menemani Lisa setiap berangkat ke tempat les. 

Segala daya dan upaya sudah Lisa lakukan supaya dia nggak lagi diperlakukan kayak anak presiden, yang kemana-mana dikontrol dan dikawal. Lisa udah nyoba mulai dari mogok makan, mogok tidur, mogok mandi, Lisa malah pernah sampai nyaris minggat dari rumah.

Sebenarnya Lisa bisa aja sering-sering curi waktu ke mall atau ke mana saja yang dia mau tanpa setahu papanya, asal dia bisa memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. She got the chances, she got the bravery, but she ain’t got the money. 

Nah, ini dia masalahnya! Uang saku yang lisa terima dari papanya setiap bulan pas-pasan. Malah Lisa rela nggak jajan untuk menghemat uang sakunya, supaya bisa ditabung buat beli kaset. Lisa juga bisa ngirit ongkos naik angkot, soalnya tiap pulang sekolah, Lisa pasti nebeng sama Geigi, sohib kentalnya dari waktu Lisa masih SMP. Lumayan, bisa buat nambah beli kaset. Kalau tadinya Cuma bisa beli satu, jadi bisa beli dua. Pokoknya, Lisa beda banget deh sama temen-temen sekolahnya kebanyakan , yang rata-rata udah pada punya ATM dewe-dewe.

Sebenarnya Papa Lisa orang yang mampu, lebih dari pas-pasan, tapi beliau takut kalau Lisa dikasih uang saku terlalu banyak, bisa-bisa dipakai untuk beli hal-hal yang nggak perlu, atau mungkin hal-hal yang berbahaya, seperti golok, atau lebih parah, senjata api.

Seperti biasa, setelah jam les berakhir, Lisa menemukan mobil Papa terparkir di depan gedung tempat les bahasa Inggris-nya dengan Papa yang lagi asyik mantengin acara radio favoritnya, “Dunia dalam berita”.

“Lisa, kamu kok diem aja?” Tegur Papa ketika mobil Honda CR-V hitam miliknya tengah melaju di atas jalanan aspal yang mulus.

Lisa yang dari tadi sedang khusyuk bengong sambil mengkhayal ketika melihat dua sejoli yang ada di hadapannya sedang mesra cubit-cubitan jadi tersentak.

“Ah, nggak kok, Pa. Lisa lagi ngeliatin tuh, orang pacaran,” balas Lisa sekenanya.

“Kok kurang kerjaan amat merhatiin orang pacaran. Kamu mupeng, ya?” tanya Papa yang entah iseng entah serius.

“Umm … kadang-kadang sih, Pa.”

“Emang kamu belom pernah punya pacar?” tanya Papa. 

Spontan Lisa kaget. Ini Papa, emang nggak tahu apa nyindir, “Emangnya Lisa pernah caerita kalo Lisa udah pernah punya pacar?”

“Seinget Papa sih, belom!”

“Ya emang belom pernah, Pa! Papa sih sibuk melulu! Sampe anaknya ditelantarin kayak begini.”

“Ya ampun, Papa nggak sebegitunya kali. Buktinya, kamu kan nggak jadi gembel. Tapi, kasian juga kamu, belom laku!” Sindir Papa.

“Ye, Papa kok gitu sih sama Lisa. Gini-gini Lisa juga banyak yang naksir, Lisanya aja yang nggak selera. Nanti lihat aja kalo Lisa udah punya pacar.”

“Bagus sih kalo akhirnya nanti ada yang naksir kamu, tapi saying sekali, Papa nggak ngizinin kamu pacaran, tuh!”

Bagai disambar geledek, Lisa terbengong-bengong (disamber geledek kok malah bengong ya?! Mestinya kan gosong!). Dengan susah payah Lisa balik bertanya, “Loh, kok … kok … nggak boleh, Pa?”

Lisa merasa bagai teriris-iris. Lengkap sudah penderitaannya. Dia nggak boleh malam mingguan, dan dia juga nggak boleh pacaran.

“Papa ini kan duda,” kata Papa penuh misteri.

“So …?” tanya Lisa.

“Kalo kamu nanti udah punya cowok, pasti setiap malem mingguan Papa A-LO-NE di rumah, ongkang-ongkang kaki di depan TV sambil nungguin kamu pulangnya kapan. Dan tiap malam minggu juga Papa nggak bisa jalan lagi sama kamu. Terus terang aja, Papa jealous,” Papa menjelaskan panjang lebar tanpa tahu malu.

“Idih, Papa alasannya nggak reasonable, ah! Anak kecil banggetz! Nggak punya pacar aja, Papa jarang ngajak Lisa jalan. Lisa juga nggak boleh malam mingguan sama temen-temen Lisa. Kalo kayak begini, bisa-bisa Lisa nggak kawin-kawin dong.”

“Pokoknya, kamu nggak boleh malam mingguan sama siapa pun kecuali sama Papa dan nggak boleh pacaran sama siapa pun! Sampe Papa juga punya.” 

“Punya apa?”

“Punya temen malam mingguan sendiri juga. Jadi, Papa nggak bakalan bengong di rumah kalo kamu lagi malam mingguan sama temen-temen kamu, atau sama pacar kamu!”

“Ih, Papa konyol banget deh! Kan ada Bi Sumi. Malam mingguan aja sama Bi Sumi!”

“Ngaco deh kamu! Masa Papa disuruh malam mingguan sama pembantu?”

“Papa tega bener! Bi Sumi kan bukan kayak pembantu lagi, Pa, tapi udah kayak sodara!” protes Lisa.

“Iya deh. Lagian Bi Sumi juga mana mau malam mingguan sama Papa?”

“Terus, sama siapa dong? Kan di rumah Cuma ada Papa, Lisa, sama Bi Sumi!” seru Lisa.

“Ya sama kamu. Pokoknya tiap malam minggu kamu harus ada di rumah!” kata Papa banting harga mati. “Dan kamu belum boleh pacaran!” tambah Papanya.

Lisa cemberut. Bibirnya dimiringkan ke kanan dan kedua tangannya disilangkan di dada.

Papa mengalihkan pandangannya ke Lisa. Melihat Lisa ngambek, Papa lalu ngelus-elus rambut putrinya. “Lis, kenapa sih kok mukamu langsung jadi jelek banget gitu? Marah ya sama Papa? Atau jangan-jangan kamu lagi naksir cowok lagi? Makanya pas Papa bilang nggak boleh pacaran kamu langsung ngambek?”

“Untungnya sekarang Lisa lagi nggak naksir siapa-siapa, dan kayaknya bakalan untuk waktu yang lama,” kata Lisa,”dan sepertinya, seumur hidup gue nggak bakalan ngerasain punya cowok,” lanjut batinnya kesal.

“Lah, trus kenapa kamu mesti cembetut?” tanya Papa heran.

“Habis, alas an Papa nggak ngebolehin Lisa malam mingguan atau pacaran, sama sekali nggak bisa diterima akal sehat!”

“Lisa, suatu hari nanti, kamu pasti bakalan Papa bolehin untuk malam mingguan sama siapa aja yang kamu mau. Tapi syaratnya yah itu tadi. Lagian untuk sekarang-sekarang ini Papa nggak tega ngebiarin kamu pergi keluyuran cuma sama temen-temen kamu aja, dan nggak ada yang ngawasin atau jagain. Kalo soal pacaran ya … ya …,” Papa Lisa kehabisan kata-kata.

“Iya, Lisa tau,” sahut Lisa seolah sudah mengerti maksud papanya.

“Yah, intinya kamu jangan dulu deh keluar sampe malem-malem…..”

“Kalo sampai pagi boleh dong?” potong Lisa.

“Tuh kan. Itu tuh yang papa takutin. Nanti kamu terjerumus ke dalam pergaulan yang nggak-nggak. Kamu kan belum cukup dewasa.”

“Tapi kalo misalnya suatu saat Lisa mesti kuliah di luar Jakarta, atau Lisa dapet beasiswa ke luar negeri, gimana? Masa Cuma gara-gara Papa seorang duda terus Papa nggak ngerelain Lisa jauh-jauh dari Papa, sih? Kalo jalan pikiran Papa kayak begini terus bisa hancur deh masa depan Lisa!” Lisa menggerutu.

“Ya … kalo bisa sih kuliahnya yang deket-deket aja. Di Jakarta aja deh, ngapain kamu pake ke luar daerah segala? Siapa yang akan menjaga sawah dan lading kita, sementara nanti ketika kamu sudah lulus SMA, Papa sudah tua dan tidak berdaya,” ujar Papa ngejayus.

“Ha-ha-ha. Nggak lucu, Pa. Jasjus tauk! “

“Kok Papa dibilang jasjus sih? Apaan tuh jasjus?”

“Jasjus itu ja-yus, Papa!”

“Yah, intinya kamu jangan dulu deh keluar sampe malem-malem, liburan cuma sama temen-temen, apalagi sampe dugem. Itu tuh yang Papa takutin. Nanti kamu terjerumus ke dalam pergaulan yang nggak-nggak. Kamu kan belum cukup dewasa.”

“Hh … Iya deh, Pa,” ucap Lisa yang akhirnya mengalah perdebatan Lisan dan Papanya di mobil menimbulkan tanda Tanya besar di kepala Lisa, kok bisa-bisanya papanya punya pikiran yang aneh kayak gitu. Lisa penasaran dan sama sekali belum puas dengan keputusan yang secara nggak sadar dia setujui. Dia takut suatu hari dia mulai naksir cowok dan gimana juga kalau cowok yang dia taksir juga suka sama dia?
“Kecuali ada yang nemenin Papa di malam minggu.”

Kalimat Papa itu kembali mengiang di telinga dan kepala Lisa. Apa maksudnya? Tanda Tanya lagi buat Lisa. Tapi sesaat melintas di pikiran Lisa bahwa yang dimaksud Papa adalah anak baru, tapi nggak mungkin! Anaknya siapa? Atau … ya ampun … istri baru???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar