Lisa tengah membolak-balik album
fotonya yang nyaris berbulan-bulan nggak pernah lagi disentuhnya. Di setiap
halaman, lisa mengamati batul wajah almarhum mama, meskipun lisa tahu, sampai
kapan pun dia nggak mungkin bisa melupakan wajah mamanya.
Ingatan Lisa kembali ke beberapa
tahun yang lalu, ketika menghabiskan saat-saat terakhir bersama mamanya di
rumah sakit, sampai keesokan paginya Lisa menemukan mamanya telah tiada di
sisinya.
Ingatan barusan membuatnya sedih,
tapi begitu lisa mengamati lagi wajah mamanya di foto yang sedang ketawa geli
gara-gara dicium ikan lele peliharaan eyangnya, kesedihan lisa berangsur-angsur
hilang. Senyuman kini terkembang menghiasi wajahnya yang cantik.
Tanpa sadar lisa sudah menghabiskan
berjam-jam hanya untuk melihat album fotonya sejak pulang sekolah.
“Waduh, udah jam setengah enam lewat,
mesti buru-buru berangkat les nih!”
Lisa merapikan album fotonya dan
bangkit untuk bersiap-siap ke tempat les bahasa inggris. Dengan cueknya lisa
mengganti kemeja sekolah dengan kaos, sementara dia masih mengenakan rok
sekolah abu-abunya. Lisa langsung menyambar tas selempang kesayangannya dan
berangkat.
“Papa, nanti jemput lisa?” tanya lisa
kepada papanya yang barusan pulang dari kantor.
“Iyalah, seperti biasa. Kamu nggak
Papa anta raja?” Tanya Papa.
“Nggak ah, Pa. Naik angkot aja sama
Bi Sumi, “Jawab Lisa asal.
“Papa antar, ya?”
“Nggak usah, Pa.”
“Papa anta raja.”
“Papa, ma kasih, tapi nggak usah. Papa kan baru pulang kantor,
masih capek. Nanti Papa jemput Lisa aja.”
“Nggak apa-apa. Papa anterin, ya?”
“Nggak, Pa.”
“Iya.”
“Nggak.”
“Iya.”
“Papa apa sih?!”
“Ya udah.”
Ini bukan yang pertama kalinya Papa
memaksa mengantar Lisa ke tempat les, padahal
tempat lesnya nggak begitu jauh dari rumahnya. Tapi Papa Lisa adalah
tipe orang yang gampang cemas dan khawatiran, apalagi sejak mama Lisa
meninggal.
Sejak mama Lisa meninggal, Lisa nggak
pernah diizinkan lagi untuk jalan sama temen-temennya tiap malam minggu bahkan
nonton bioskop sekalipun. Itu karena nggak ada lagi orang yang bisa membujuk
Papa sejitu almarhum mama Lisa.
Alasan Papa selalu saja ada. Yang bilang
nonton bioskop itu pemborosanlah! Harga tiketnya aja udah mahal, belum lagi
beli cemilannya. Masuk akal sih. Tapi Lisa berpikir, apa salahnya sih
sekali-sekali?! Toh sekali aja nonton bioskop juga nggak akan bikin Papa
bangkrut! Pokoknya, setiap malam Minggu bawaan Lisa selalu saja bete! Papa
sendiri juga jarang ngajakin Lisa pergi liburan atau malam mingguan!
Tragis banget, padahal rumahnya deket
mall, meskipun bukan mall sekelas Pondok Indah Mall atau Plaza Senayan sih. Tapi
lumayan, ada twenty-one-nya dan McD-nya juga.
“Pulang sekolah harus langsung
pulang, nggak boleh mampir-mampir dulu.” Itu salah satu peraturan papa yang
rutin diucapkan beliau tiap Lisa mau sekolah.
Tapi emang dasarnya Lisa badung,
sekali-sekali dilanggarnya aturan papa yang satu itu, meskipun nggak
keseringan, karena papa orangnya suka nggak bisa diduga. Kadang-kadang Papa
telepon ke rumah untuk ngecek anaknya sudah pulang atau belum. Untungnya setiap
papa telepon, Lisa selalu ada di rumah.
Untuk urusan yang ada hubungannya
dengan bidang akademis, seperti belajar kelompok atau bikin tugas makalah
kelompok, juga sama. Meskipun Papa mengizinkan, beliau tetap saja memberi batasan
soal kapan Lisa harus pulang dan berapa lama ia boleh ada di rumah temannya.
Masih untung Papa memperbolehkan Lisa
ikut ekskul basket, itu juga karena di sekolah Lisa, mengikuti sedikitnya satu
kegiatan ekskul adalah wajib. Seenggaknya Lisa punya sedikit hiburan dan
semangat. Kalau sekolah nggak mengeluarkan kebijakan tersebut, sudah bisa
dipastikan Lisa nggak bisa ikut kegiatan apa pun selain sekolah dan les bahasa
inggris. Bakalan lebih suntuk dia!
Kenapa Papa memperbolehkan Lisa les
bahasa Inggris? Itu karena Papa menganggap bahwa Inggris wajib dipelajari,
karena sekarang zaman sudah berubah, di mana setiap perusahaan umumnya hanya
menerima karyawan yang mampu berbahasa Inggris dengan nilai TOEFL di atas 500. Dan
menurut Papa, pelajaran bahasa Inggris yang diberikan sekolah belum cukup. Tadinya
Papa memanggilkan Lisa guru les privat ke rumah, supaya Papa mudah mengawasi
Lisa. Tapi setelah beberapa bulan berjalan, ternyata belajar dengan guru privat
nggak efektif buat Lisa. Akhirnya Papa mau nggak mau mengursuskan Lisa di salah
satu lembaga kursus bahasa Inggris yang dianggapnya baik. Lisa sih
senang-senang aja, soalnya dia bisa punya teman-teman baru di lingkungan baru. Selain
itu, tempat les bahasa Inggris-nya ada di depan mall persis! Jadi dia bisa
nyuri-nyuri waktu sebelum masuk les buat beli kaset, satu-satunya jenis barang
yang selama ini jadi koleksi favoritnya.
Papa nyesel banget ketika tahu bahwa
waktu belajar Lisa di tempat lesnya Cuma ada malam hari, karena untuk level
setingkat Lisa nggak ada jam yang lebih sore atau siang. Makanya Papa selalu
bersikeras menjemput Lisa seusai les, padahal jaraknya dekat. Dan papa juga
bersikeras supaya Bi Sumi senantiasa menemani Lisa setiap berangkat ke tempat
les.
Segala daya dan upaya sudah Lisa
lakukan supaya dia nggak lagi diperlakukan kayak anak presiden, yang
kemana-mana dikontrol dan dikawal. Lisa udah nyoba mulai dari mogok makan,
mogok tidur, mogok mandi, Lisa malah pernah sampai nyaris minggat dari rumah.
Sebenarnya Lisa bisa aja
sering-sering curi waktu ke mall atau ke mana saja yang dia mau tanpa setahu
papanya, asal dia bisa memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. She got the chances, she got the bravery,
but she ain’t got the money.
Nah, ini dia masalahnya! Uang saku
yang lisa terima dari papanya setiap bulan pas-pasan. Malah Lisa rela nggak
jajan untuk menghemat uang sakunya, supaya bisa ditabung buat beli kaset. Lisa
juga bisa ngirit ongkos naik angkot, soalnya tiap pulang sekolah, Lisa pasti
nebeng sama Geigi, sohib kentalnya dari waktu Lisa masih SMP. Lumayan, bisa
buat nambah beli kaset. Kalau tadinya Cuma bisa beli satu, jadi bisa beli dua. Pokoknya,
Lisa beda banget deh sama temen-temen sekolahnya kebanyakan , yang rata-rata
udah pada punya ATM dewe-dewe.
Sebenarnya Papa Lisa orang yang
mampu, lebih dari pas-pasan, tapi beliau takut kalau Lisa dikasih uang saku
terlalu banyak, bisa-bisa dipakai untuk beli hal-hal yang nggak perlu, atau
mungkin hal-hal yang berbahaya, seperti golok, atau lebih parah, senjata api.
Seperti biasa, setelah jam les
berakhir, Lisa menemukan mobil Papa terparkir di depan gedung tempat les bahasa
Inggris-nya dengan Papa yang lagi asyik mantengin acara radio favoritnya, “Dunia
dalam berita”.
“Lisa, kamu kok diem aja?” Tegur Papa
ketika mobil Honda CR-V hitam miliknya tengah melaju di atas jalanan aspal yang
mulus.
Lisa yang dari tadi sedang khusyuk
bengong sambil mengkhayal ketika melihat dua sejoli yang ada di hadapannya
sedang mesra cubit-cubitan jadi tersentak.
“Ah, nggak kok, Pa. Lisa lagi
ngeliatin tuh, orang pacaran,” balas Lisa sekenanya.
“Kok kurang kerjaan amat merhatiin
orang pacaran. Kamu mupeng, ya?” tanya Papa yang entah iseng entah serius.
“Umm … kadang-kadang sih, Pa.”
“Emang kamu belom pernah punya pacar?”
tanya Papa.
Spontan Lisa kaget. Ini Papa, emang
nggak tahu apa nyindir, “Emangnya Lisa pernah caerita kalo Lisa udah pernah
punya pacar?”
“Seinget Papa sih, belom!”
“Ya emang belom pernah, Pa! Papa sih
sibuk melulu! Sampe anaknya ditelantarin kayak begini.”
“Ya ampun, Papa nggak sebegitunya
kali. Buktinya, kamu kan nggak jadi gembel. Tapi, kasian juga kamu, belom laku!”
Sindir Papa.
“Ye, Papa kok gitu sih sama Lisa. Gini-gini
Lisa juga banyak yang naksir, Lisanya aja yang nggak selera. Nanti lihat aja
kalo Lisa udah punya pacar.”
“Bagus sih kalo akhirnya nanti ada
yang naksir kamu, tapi saying sekali, Papa nggak ngizinin kamu pacaran, tuh!”
Bagai disambar geledek, Lisa
terbengong-bengong (disamber geledek kok malah bengong ya?! Mestinya kan
gosong!). Dengan susah payah Lisa balik bertanya, “Loh, kok … kok … nggak
boleh, Pa?”
Lisa merasa bagai teriris-iris. Lengkap
sudah penderitaannya. Dia nggak boleh malam mingguan, dan dia juga nggak boleh
pacaran.
“Papa ini kan duda,” kata Papa penuh
misteri.
“So …?” tanya Lisa.
“Kalo kamu nanti udah punya cowok,
pasti setiap malem mingguan Papa A-LO-NE di rumah, ongkang-ongkang kaki di
depan TV sambil nungguin kamu pulangnya kapan. Dan tiap malam minggu juga Papa
nggak bisa jalan lagi sama kamu. Terus terang aja, Papa jealous,” Papa
menjelaskan panjang lebar tanpa tahu malu.
“Idih, Papa alasannya nggak
reasonable, ah! Anak kecil banggetz! Nggak punya pacar aja, Papa jarang ngajak
Lisa jalan. Lisa juga nggak boleh malam mingguan sama temen-temen Lisa. Kalo kayak
begini, bisa-bisa Lisa nggak kawin-kawin dong.”
“Pokoknya, kamu nggak boleh malam
mingguan sama siapa pun kecuali sama Papa dan nggak boleh pacaran sama siapa
pun! Sampe Papa juga punya.”
“Punya apa?”
“Punya temen malam mingguan sendiri
juga. Jadi, Papa nggak bakalan bengong di rumah kalo kamu lagi malam mingguan
sama temen-temen kamu, atau sama pacar kamu!”
“Ih, Papa konyol banget deh! Kan ada
Bi Sumi. Malam mingguan aja sama Bi Sumi!”
“Ngaco deh kamu! Masa Papa disuruh
malam mingguan sama pembantu?”
“Papa tega bener! Bi Sumi kan bukan
kayak pembantu lagi, Pa, tapi udah kayak sodara!” protes Lisa.
“Iya deh. Lagian Bi Sumi juga mana
mau malam mingguan sama Papa?”
“Terus, sama siapa dong? Kan di rumah
Cuma ada Papa, Lisa, sama Bi Sumi!” seru Lisa.
“Ya sama kamu. Pokoknya tiap malam
minggu kamu harus ada di rumah!” kata Papa banting harga mati. “Dan kamu belum
boleh pacaran!” tambah Papanya.
Lisa cemberut. Bibirnya dimiringkan ke
kanan dan kedua tangannya disilangkan di dada.
Papa mengalihkan pandangannya ke
Lisa. Melihat Lisa ngambek, Papa lalu ngelus-elus rambut putrinya. “Lis, kenapa
sih kok mukamu langsung jadi jelek banget gitu? Marah ya sama Papa? Atau
jangan-jangan kamu lagi naksir cowok lagi? Makanya pas Papa bilang nggak boleh
pacaran kamu langsung ngambek?”
“Untungnya sekarang Lisa lagi nggak
naksir siapa-siapa, dan kayaknya bakalan untuk waktu yang lama,” kata Lisa,”dan
sepertinya, seumur hidup gue nggak bakalan ngerasain punya cowok,” lanjut
batinnya kesal.
“Lah, trus kenapa kamu mesti
cembetut?” tanya Papa heran.
“Habis, alas an Papa nggak ngebolehin
Lisa malam mingguan atau pacaran, sama sekali nggak bisa diterima akal sehat!”
“Lisa, suatu hari nanti, kamu pasti
bakalan Papa bolehin untuk malam mingguan sama siapa aja yang kamu mau. Tapi syaratnya
yah itu tadi. Lagian untuk sekarang-sekarang ini Papa nggak tega ngebiarin kamu
pergi keluyuran cuma sama temen-temen kamu aja, dan nggak ada yang ngawasin
atau jagain. Kalo soal pacaran ya … ya …,” Papa Lisa kehabisan kata-kata.
“Iya, Lisa tau,” sahut Lisa seolah
sudah mengerti maksud papanya.
“Yah, intinya kamu jangan dulu deh
keluar sampe malem-malem…..”
“Kalo sampai pagi boleh dong?” potong
Lisa.
“Tuh kan. Itu tuh yang papa takutin. Nanti
kamu terjerumus ke dalam pergaulan yang nggak-nggak. Kamu kan belum cukup
dewasa.”
“Tapi kalo misalnya suatu saat Lisa
mesti kuliah di luar Jakarta, atau Lisa dapet beasiswa ke luar negeri, gimana?
Masa Cuma gara-gara Papa seorang duda terus Papa nggak ngerelain Lisa jauh-jauh
dari Papa, sih? Kalo jalan pikiran Papa kayak begini terus bisa hancur deh masa
depan Lisa!” Lisa menggerutu.
“Ya … kalo bisa sih kuliahnya yang
deket-deket aja. Di Jakarta aja deh, ngapain kamu pake ke luar daerah segala?
Siapa yang akan menjaga sawah dan lading kita, sementara nanti ketika kamu
sudah lulus SMA, Papa sudah tua dan tidak berdaya,” ujar Papa ngejayus.
“Ha-ha-ha. Nggak lucu, Pa. Jasjus
tauk! “
“Kok Papa dibilang jasjus sih? Apaan
tuh jasjus?”
“Jasjus itu ja-yus, Papa!”
“Yah, intinya kamu jangan dulu deh
keluar sampe malem-malem, liburan cuma sama temen-temen, apalagi sampe dugem. Itu
tuh yang Papa takutin. Nanti kamu terjerumus ke dalam pergaulan yang
nggak-nggak. Kamu kan belum cukup dewasa.”
“Hh … Iya deh, Pa,” ucap Lisa yang
akhirnya mengalah perdebatan Lisan dan Papanya di mobil menimbulkan tanda Tanya
besar di kepala Lisa, kok bisa-bisanya papanya punya pikiran yang aneh kayak
gitu. Lisa penasaran dan sama sekali belum puas dengan keputusan yang secara
nggak sadar dia setujui. Dia takut suatu hari dia mulai naksir cowok dan gimana
juga kalau cowok yang dia taksir juga suka sama dia?
“Kecuali ada yang nemenin Papa di
malam minggu.”
Kalimat Papa itu kembali mengiang di
telinga dan kepala Lisa. Apa maksudnya? Tanda Tanya lagi buat Lisa. Tapi sesaat
melintas di pikiran Lisa bahwa yang dimaksud Papa adalah anak baru, tapi nggak
mungkin! Anaknya siapa? Atau … ya ampun … istri baru???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar